Usia Tidak Menjadi Solusi?.. Peraturan Dimanipulasi!!

Persoalan yang kini memanas tentang perubahan batas usia peserta pilkada, kini mulai dinilai publik bersinggungan dengan kaesang yang dirumorkan akan maju di pilgub DKI Jakarta, seperti diketahui sebelumnya ketua harian partai gerindra bung dasco memposting foto kaesang bersama keponakan prabowo untuk maju di pilgub DKI Jakarta. Maka dari itu kita seharusnya tau bahwa putusan MK yang telah cacat pada tahun 2023 tidak terulang lagi kepada putusan MA dimasa mendatang.

 

Putusan MA No 23 P/HUM/2024 memuat banyak kejanggalan dan menjadi semacam replika dari pengujian syarat usia serupa ketika pemilihan umum presiden dan wakil presiden 2024 yang lalu, MK meloloskan kesusksesan untuk sang kakak yaitu gibran rakabuming raka menjadi wakil presiden terpilih, maka kini kaesang sebagai adik Gibran isunya akan maju di pilkada tahun 2024 dan untuk menuju kesuksesan tersebut langsung diakomodir oleh komisi pemilihan umum (KPU) melalui PKPU Nomor 8/2024.

 

Dengan dikeluarkannya putusan MA dan pemberlakuan PKPU 8/2024 ini, pertaruhan terhadap eksistensi dan marwah MA sebagai lembaga penegak hukum yang independen dan imparsial patut diragukan. Lembaga peradilan yudisial semakin carut marut dengan problematika keterbelengguan independensi yang selama ini memicu kegaduhan dalam sistem penegakan hukum, serta kerap mencederai dan mengoyak rasa keadilan masyarakat.

 

Mahkamah agung melalui putusan Nomor 23 P/HUM/2024 mengabulkan permohonan hak uji materil yang diajukan oleh ketua umum partai garuda (ahmad sabana) terkait pasal 4 PKPU 9/2020 dengan UU NO 10/2016 tentang perubahan kedua atas UU No.1/2015 tentang PP Nomor 1/2014, menurutnya pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU NO 9/2020 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

yaitu pasal 7 ayat (2) huruf e UU NO 10/2016 sedangkan pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 2020 menambahkan syarat berusia paling rendah 30 terhitung sejak penetapan pasangan calon, dalam hal ini pemohon merasa dicederai hak konstitusinya karena tidak dapat mengusung calon kepala daerah akibat terbentur syarat usia sebagaimana ketentuan pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU NO 9/2020.

BACA JUGA :   Kisah Perseteruan KH ALI BADRI Dengan Rabithah Alawiyah (7)

 

Selain itu polemik putusan MA lain yang patut disorot adalah singkatnya proses oleh permohonan hingga keluarnya putusan, masuknya permohonan hingga dikeluarkannya putusan hanya memakan waktu selama 3 hari. Walau tidak ada aturan mengenai berapa lama waktu yang harus dipenuhi oleh MA untuk mengolah sebuah putusan, MA seperti teramat terburu-buru mengejar waktu digelarnya pilkada yang akan dilaksanakan serentak 27 november 2024. Selain itu hak uji materil (HUM) yang dilaksanakan secara tertutup oleh MA juga turut menjadi persoalan. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan rentannya sebuah putusan untuk bisa disisipi kepentingan oleh pihak-pihak.

 

Sejatinya putusan MA mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan dipatuhi oleh pihak yang terlibat. Terlebih dalam konteks judicial review, putusan juga bersifat final. Ketika MA mengeluarkan putusan idealnya KPU sebagai termohon harus mematuhi putusan MA, akan tetapi dalam konteks kasus ini KPU tidak dapat mematuhi putusan MA begitu saja, perlu diketahui bahwa banyak kekeliruan dalam putusan MA tersebut.

 

Dengan citra buruk yang ditimbulkan oleh putusan tersebut KPU diharapkan dapat memberikan keputusan bijak, naasnya melalui peraturan KPU (PKPU) 8/2024 KPU telah resmi mengubah isi peraturan mengenai pencalonan gubernur dan wakil gubernur, seharusnya KPU tidak mengindahkan putusan MA yang kontradiktif dan problematik, perlu di ingat bahwa kehadiran UU No.10/2016 dengan hirarki lebih tinggi yang isinya masih sama, KPU seharusnya mengutamakan penerapan undang-undang jika KPU masih mengindahkan hukum di negara ini.

 

Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 berikut dengan dikeluarkannya PKPU 8/2024 oleh KPU tidak mengindahkan prinsip Purcell sehingga putusan didalamnya menjadi tidak ideal, tidak demokratis serta tidak berkepastian hukum mengingat tahapan pilkada saat ini sedang berjalan, yaitu pen calon gubernur dan wakil gubernur , bupati dan walikota sudah dimulai, penyelengara pilkada 2024 telah memasuki tahapan pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan hingga agustus mendatang bahkan, paslon perseorangan sudah selesai menyerahkan syarat-syaratnya sehingga pemberlakuan putusan yang menandakan dari putusan ini menjadi ketidak bijakan yang diskriminatif pada calon perseorangan.

BACA JUGA :   Revitalisasi makna pancasila dalam civil society

 

Melalui putusan MA No.23/P/HUM/2024 memunculkan dugaan terhadap indikasi pencalonan bagi putra bungsu presiden jokowi dodo, kaesang pangarep maju sebagai calon kepala daerah, pola tersebut serupa dengan putusan Mahkamah konsitusi N.90/PUU-XXI/2023 yang akhirnya meloloskan Gibran rakabuming raka menjadi wakil presiden, hal tersebut sangatlah nyata untuk melanggengkan dinasti politik dimana lembaga peradilan dijadikan alat untuk menempatkan keluarga pada jabatan strategis dengan tujuan untuk membangun suatu kerajaan politik dalam pemerintahan, keadaan seperti ini tidak hanya mempengaruhi pemilu mendatang, tetapi juga membuat publik ragu akan independensi lembaga peradilan dapat dimanipulasi oleh kekuatan politik.

 

Menurut hasil penelitian dari total sebaran 508 kabupaten atau kota yang menyelenggarakan pilkada dari tahun 2017 hingga 2020, ditemukan 247 kabupaten/kota terindikasi dinasti politik. Mirisnya kandidat dinasti politik meraih kemenangan di 170 dari 247 kabupaten/kota yang terindikasi dinasti politik.

 

Politik dinasti yang tengah dibangun oleh bapak presiden kita terlihat sangat jelas , indikasi conflict of interest yang lagi-lagi dilakukan oleh presiden jokowi dodo pada putusan MA No.23 tentunya berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi, terlebih kuat lagi jika kaesang bener-bener maju di pilkada tahun ini, dan tidak menutup kemungkinan kelak pejabat politik di tingkat daerah hanya akan digenggam oleh segelintir kelompok elit yang saling bertalian darah.

 

Dengan dikeluarkannya putusan MA No.23 P/HUM/2024 dan pemberlakuan PKPU No. 8 tahun 2024 yang memuat banyak kejanggalan dan sarat akan politik kepentingan, masa depan pilkada dan nasib demokrasi semakin dipertaruhkan, pengembalian indepedensi peradilan harus menjadi prioritas dan urgensi bersama dalam rangka memperkuat budaya demokrasi. Jika tidak dilakukan maka Negara hukum yang demokratis hanya akan menjadi angan-angan dan ajang kesewenang-wenangan para penguasa.

BACA JUGA :   Kisah Perseteruan KH ALI BADRI Dengan Rabithah Alawiyah (8)

 

Praktik otak atik aturan seperti aturan MA ini akan diperkirakan akan sering terjadi di masa mendatang demi mengakomodasi kepentingan politik penguasa. Oleh karena itu mari kita lawan segala praktik nepotisme dan politik dinasti yang memperlemah demokrasi.

 

Penulis : M. Mulabbil Bait (BEM Fakultas Hukum Universitas Islam Jember)

Komentar Facebook

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan