Kisah Perseteruan KH ALI BADRI Dengan Rabithah Alawiyah (9)

Judul : MENYIKAPI KONFLIK HABAIB & KELUARGA WALISONGO (9)

Oleh : K.H. Ali Badri

 

Seperti yang telah saya katakan sebelum ini, bahwa saya telah lama mengetahui soal penolakan sebagian asyraf Yordania dan lain-lain soal nasab Sy. Ubaidillah, maka sejak awal saya hanya melihat bahwa ini adalah bukti bahwa nasab Baalawi bukanlah yang paling shahih seperti yang mereka klaim selama ini. Berikut tulisan saya dalam buku berjudul “Sebuah Mimpi Untuk Dzurriyat Wallisongo” yang diterbitkan pada tahun 2011:

 

“Kini Naqabat Alil-bayt di berbagai negara telah menjadi perhimpunan keluarga yang mandiri dan lebih banyak bergerak dalam bidang koordinasi antar keluarga. Di tiap negara yang terdapat Ahlul-bayt maka disitu dibentuk perkumpulan untuk menjalin silaturrahim. Seiring dengan waktu, perkumpulan Ahlul-bayt kemudian banyak yang menyempit menjadi hanya mencakup keturunan Al-Hasan dan Al-Husain (Hasaniyyin dan Husainiyyin). Bahkan dari Hasaniyyin dan Husainiyyin inipun ada juga yang membuat perkumpulan sendiri berdasarkan marga. Penyempitan cakupan itu umumnya disebabkan oleh keterbatasan kemampuan koordinasi. Karena masing-masing marga memiliki anggota yang besar, untuk memudahkan koordinasi maka dibuatlah perhimpunan kecil. Ini adalah suatu hal yang wajar. Namun minimnya komunikasi antar perhimpunan itu terkadang membuat sebagian anggota sebuah perhimpunan menganggap perhimpunannya lebih sah dari yang lain, seperti sebagian Asyraf Yordania yang pernah mengingkari keabsahan keluarga Baalawi Yaman. Hal ini juga wajar, karena mereka juga manusia biasa sehingga tentu saja banyak orang awamnya juga.”

 

Rabithah Alwiyah sendiri hanyalah sebuah perhimpunan keluarga kecil dari Ahlulbayt, yaitu keluarga Baalawi. Saya sering mendengar bahwa rumpun Baalawi adalah yang terbanyak diantara rumpun-rumpun ahlulbayt di dunia. Menurut saya itu tidak benar, mereka terlihat banyak hanya karena semua Baalawi memperkenalkan diri ke publik sebagai ahlulbayt, sementara kebanyakan ahlubayt yang lain menyembunyikan nasab didepan publik.

 

Di Arab banyak marga ahlulbayt yang tidak dikenal oleh publik, hanya dikenal oleh internal keluarga saja. Kalau semua ahlulbayt di dunia mengikuti tradisi Baalawi dengan mengaku ahlulbayt pada setiap orang yang ditemui, niscaya jumlah Baalawi akan terlihat sedikit sekali.

 

Di keluarga Syekh Jumadil Kubro sendiri, banyak sekali ulama besar yang tidak dikenal sebagai ahlulbyat, bahkan tidak dikenal sebagai orang Arab, misalnya ulama’ Makkah asal Banten yang bernama Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, beliau bernasab pada Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Demikian juga ulama’ Makkah asal Fathani (Thailand) yang bernama Syekh Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani, pengarang kitab nahwu “Tashil Nailil Amani”. Nasab beliau bersambung pada paman Sunan Gunug Jati yang bernama Wan Muhammad Shalih Al-Laqihi bin Ali Nurul Alam bin Syekh Jumadil Kubro, nenek beliau adalah keponakan Sunan Ampel, yaitu Wan Maryam binti Wan Husain bin Maulana Ibrahim As-Samarqandi bin Syekh Jumadil Kubro.

BACA JUGA :   Kisah Perseteruan KH ALI BADRI Dengan Rabithah Alawiyah (6)

 

Adapun kasus nasab Sy. Ubaidillah, selama ini saya melihat itu sebagai akibat dari terputusnya informasi saja. Dalam banyak catatan nasab memang sering ada nama yang hanya diketahui oleh keturunannya saja dan tidak diketahui oleh keturunan saudaranya. Hal itu bisa terjadi dengan berbagai sebab, misalnya nama itu adalah anak dari istri yang tidak tinggal di kampung halaman ayahnya. Maka selama tidak ada tanda-tanda kebohongan dan sekedar untuk silaturrahim, kita tidak boleh menuduh palsu terhadab sebuah nasab hanya karena tidak tercatat oleh keturunan yang masyhur. Untuk kasus seperti ini kita gunakan kaidah:

الإثبات مقدم على النفي لزيادة العلم

“Yang menyatakan ada itu lebih diunggulkan daripada yang menyatakan tidak ada, karena (yang menyatakan ada) itu memiliki pengetahuan lebih.”

 

Artinya, yang mengatakan tidak ada itu bisa jadi karena tidak tahu saja. Bahkan kitab-kitab lama Baalawi menyebutkan bahwa putra Sy. Alawi Ammil Faqih yang bernama Abdullah itu tidak memiliki keturunan, namun kitab nasab yang terbaru menyebutkan bahwa Sy. Abdullah memiliki keturunan berdasarkan catatan nasab raja-raja Sulu Filipina yang bernasab pada beliau.

 

Yang pasti, dalam kitab-kitab nasab yang lama, nama Abdullah sebagai putra Sy. Ahmad bin Isa Ar-Rumi memang tidak terkenal seperti tiga nama putra beliau yang lain, Yaitu Husain, Ali dan Muhammad. Bahkan sebagian kitab menggunakan kalimat “qila” ketika menambahkan nama Abdullah. Dalam istilah kita, “qila” itu sama dengan “konon katanya”. Hal itu menujukkan bahwa nama Abdullah tidak muncul dalam semua riwayat, tidak seperti nama Husain, Ali dan Muhammad. Dengan kata lain, nama Abdullah sebagai putra Ahmad tidak seshahih tiga nama yang lain, namun tidak seshahih lainnya itu bukan berarti ditolak.

 

Terlepas dari pembahasan yang “dianggap” belum tuntas dalam diskusi KH. Imamdudin, sampai saat ini saya sebagaimana yang lain hanya husnuzhon saja, keluarga Baalawi mengaku bahwa nasab itu mereka terima secara turun temurun, setidaknya nasab itu dikutip oleh Sy. Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam kitab Al-Burqah aal-Musyiqah, beliau adalah orang yang dikenal shaleh bahkan waliyullah, maka secara sosial, pengakuan ini tentu saja bisa diterima. Mendustakan nasab orang itu adalah masalah serius karena bisa menyakiti perasaan dan menyebabkan fitnah, itu sebabnya semua madzhab fiqih sepakat memasukkan pendustaan nasab dalam bab qadzaf, sama dengan qadzaf zina yang hukumannya adalah dicambuk 80 kali.

BACA JUGA :   NESTAPA NELAYAN KEPANJEN DALAM BAYANG-BAYANG INDUSTRI TAMBAK MODERN

 

Adapun kajian KH. Imamduddin, saya melihatnya hanya sebagai kajian ilmiah dengan standar ilmu riwayat, bukan standar penerimaan nasab secara sosial. KH. Imaduddin hanya menakar kadar keshahihan nasab Sy. Ubaidillah dengan standar ilmu riwayat, dari itu sayapun sudah mengakatan bahwa nama Abdullah tidak seshahih tiga nama yang lain daripada anak-anak Sy. Ahmad bin Isa, namun tidak seshahih lainnya itu bukan berarti ditolak.

 

Hanya saja, saya memiliki beberapa catatan yang menyimpulkan bahwa keluarga baalawi sering tasahul (menyepelekan) dalam hal riwayat, yaitu ketika menyanjung leluhur atau kelompoknya, hal itu terkadang menjadi bumerang bagi mereka sendiri. Berikut beberapa catatan saya itu:

 

PERTAMA, tentang nama Abdullah menjadi Ubaidillah. Mereka menceritakan bahwa Sy. Abdullah itu orangnya sangat tawadhu’, saking tawadu’nya, beliau merasa masih belum pantas menyandang nama “Abdullah” (hamba Allah), beliaupun merubah sendiri nama itu menjadi “Ubaidillah” (hamba kecil Allah).

 

Cerita itu diriwayatkan sebagai fakta, padahal cerita itu hanya asumsi dari Sy. Ali As-Sakran. Beginilah kronologinya, Sy. Ali As-Sakran dalam kitab Al-Burqah menyebutkan bahwa nama leluhur Baalawi yang masyhur di Hadramaut itu bernama Ubaid bin Ahmad bin Isa, bukan Ubadillah dan bukan pula Abdullah. Beliau berkata:

وهكذا هو هنا عبيد المعروف عند أهل حضرموت ..

Kemudian beliau melihat catatan nasab keluarga Jadid dalam kitab Al-Janadi yang bersambung pada nama Abdullah bin Ahmad bin Isa, beliaupun menganggap Abdullah itu adalah orang yang sama dengan Ubaid. Rupanya beliau sendiri baru tahu bahwa di tempat lain ada catatan nama Abdullah bin Ahmad dan beliau menganggap itu sebagai Ubaid bin Ahmad, sehingga beliaupun berkata:

وقد فهمت مما تقدم أولا منقولا من تاريخ الجندي .. أنه عبد الله بن أحمد بن عيسى

Kemudian beliau mencoba mencari alasan kenapa nama Abdullah itu di Hadramaut berubah menjadi Ubaid, beliaupun menduga-duga, mungkin karena saking tawadhu’nya maka Sy. Abdullah pun merubah nama pemberian sang ayah itu menjadi “Ubaid”. As-Sakran menjelaskan dugaan itu dengan berkata:

BACA JUGA :   Draft Sudah Final, UU Telah Disahkan, Isinya Masih Carut-marut !!!

والذي يظهر عندي أن الشيخ عبد الله .. من عظيم تواضعه .. ويستحسن تصغير اسمه ..

 

Jadi jelas cerita penyebab perubahan nama itu adalah asumsi atau karangan berdasarkan dugaan Sy. Ali As-Sakran, bukan fakta sejarah yang beliau dengar dari orang lain.

 

Nah, menyajikan cerita asumsi sebagai cerita fakta itu jelas suatu kesalahan serius dalam ilmu riwayat, itu berarti merubah status dugaan menjadi status fakta. Perawi harus berterus terang bahwa itu adalah dugaan Sy. Ali As-Sakran!

 

KEDUA, banyak keluarga Baalawi yang mengatakan bahwa leluhur mereka mulai Faqih Muqaddam hingga Sy. Ahmad Al-Muhajir semuanya adalah ulama’ besar dengan level Mujtahid Mutlaq, namun mereka tawadhu’ sehingga tetap bermadzhab.

 

Cerita itu bertentangan dengan fakta sejarah, bahkan bisa jadi bumerang bagi status keabsahan nasab mereka sendiri. Mari kita bahas lebih luas

 

BERSAMBUNG ..

Komentar Facebook

Mungkin Anda Menyukai

Tinggalkan Balasan