Judul : MENYIKAPI KONFLIK HABAIB & KELUARGA WALISONGO (4)
Oleh : K.H. Ali Badri
post : 10 mei 2023
Sudah saya jelaskan di awal bahwa Habaib atau RA memang pernah berkonflik dengan keluarga Walisongo (2005), waktu itu yang mencuat hanya nama saya saja dan sempat ada yang menfitnah bahwa saya hanya mengarang nasab anggota saya, seolah-olah hanya saya yang mengaku keturunan Walisongo. Sehingga ketika sekarang ribut di medsos dan banyak Kiyai angkat suara mengaku keturunan Walisongo, ada yang menelpon saya dengan berkata: “Sekarang terjawab apa yang dulu dituduhkan pada antum.” Yakni terbukti bahwa Kiyai-kiyai keturunan Walisongo itu banyak, saya bukan mengada-ada atau mengarang!
Di mata saya, konflik itu benar-benar telah selesai, sampai sekarang saya sering berkumpul dengan habaib, baik di Jawa, luar Jawa, Malaysia dan Singapore, bahkan saya meminta maaf kalau bertemu habib yang tahu soal konflik lama itu, saya juga sering betemu dan mesra dengan Habib Taufiq Assegaf (ketua umum RA sekarang), Habib Taufiq juga masih suka datang ke acara haul kakek saya, beliau juga pernah mengundang saya ke kantor RA Pasuruan untuk diskusi bersama Kiyai-kiyai ahli nasab Madura, saya juga pernah ke rumah beliau menemani Kiyai-kiyai Madura untuk diskusi soal keummatan. Sekali lagi, konflik RA dengan saya sebagai pendiri lembaga Majlis Dzurriyat Walisongo benar-benar telah selesai. Namun rupanya banyak keluarga Walisongo yang masih sakit hati sampai sekarang, oknum Baalwipun rupanya masih suka mencibir, sehingga “perang dingin” terus berlangsung di belakang saya, kemudian dalam satu bulan ini menjadi “perang panas” karena tersulut oleh statement Cebong dan Kadrun.
Dengan demikian, pembaca bisa memahami kenapa masalah yang sangat sederhana ini kemudian menjadi sebab keributan sangat seirus, yaitu karena luka lama dan perseteruan Cebong-Kadrun.
Baiklah, sekarang kita memasuki analisa kasus. Menurut saya, konflik sekarang ini berawal dari statement Gus Fuad yang memarahi kelompok keras dari kalangan habaib. Ingat, kelompok keras menurut penilaian Gus Fuad. Beliau berpendapat bahwa sikap keras apalagi ceramah kasar itu dapat memicu provokasi dan perpecahan, beliau berpendapat bahwa kebanyakan para penceramah dari kalangan habaib itu keras, bahkan yang tidak keras dari 100 pedakwah habaib hanya 2-3 orang saja. Ingat juga, ini hanya pendapat Gus Fuad. Kata Gus Fuad juga, habaib tidak usah dakwah kecuali habaib yang lembut saja. Ayo kita bedah satu per satu.
YANG PERTAMA mengenai sikap keras dan ceramah kasar. Sebenarnya bab ini bisa panjang kalau mau dibahas secara detail, bahkan bisa jadi satu buku. Singkatnya, keras dan kasar itu dua hal berbeda, keras bisa berarti kaku dan marah, sedangkan kasar adalah kata lain dari “tidak beradab”.
Keras itu bisa salah, bahkan bisa fatal, namun ada tempat dan keadaan yang terkadang memang harus atau sebaiknya menggunakan cara keras. Keras itu hanya bisa digunakan oleh orang yang punya pengaruh, misalnya orang tua kepada anaknya yang bandel, ulama’ pada santri dan jamaanya yang sering melanggar syariat, pejabat pada rakyatnya yang susah diatur. Kalau anak tidak boleh memberi nasehat dengan keras pada orang tua, demikian orang awam pada tokoh, apalagi rakyat pada penguasa. Jangan berdalih menggunakan cara keras Sayyidina umar untuk berdakwah, oleh siapapun kepada siapapun, Sayyidina Umar kadang keras itu karena beliau Khalifah dan yang dikerasin adalah rakyat beliau yang dianggap bandel. Seandainya beliau rakyat jelata dan hendak menasehati penguasa maka pasti lain cerita. Adapun anak ketika mau memberi nasehat pada orang tua, atau rakyat pada penguasa, atau orang yang lemah pada kelompok yang kuat, maka teladanilah Rasulullah SAW saat masih di Makkah, tiga belas tahun beliau dan para Sahabat menjadi orang yang lemah, bagaimana cara dakwah beliau saat dalam posisi lemah itu? Apakah beliau keras pada Abu Lahab, Abu Jahal dan lain-lain yang saat itu jauh lebih berpengaruh di Makkah? Tidak, beliau hanya menyampaikan apa adanya dengan argumentasi cerdas serta menunjukkan kesabaran. Kalau beliau keras, dakwah beliau bukan hanya akan terancam gagal, tapi beliau atau para pengikut beliau juga akan dicelakai oleh musyrikin yang berpengaruh itu. Jadi, sikap dan cara dakwah Rasulullah SAW saat di Makkah bisa kita teladani ketika kondosi kita lemah, seperti saat kita jadi rakyat dan hendak memberi nasehat pada penguasa. Sedangkan saat Rasulullah SAW di Madinah, beliau telah menjadi orang kuat nomor satu di sana, beliaupun terkadang bersikap keras, yaitu pada musuh-musuh kemanusiaan dan kebenaran yang susah diajak damai dengan cara lembut. Maka kalau anda pendakwah yang suka marah, jadilah Presiden dulu baru marah-marahin Kapolri kalau tidak tegas pada pelanggaran judi misalnya, kalau anda hanya rakyat biasa dan hendak menasehati Presiden maka gunakan cara yang diajarkan oleh Allah kepada Nabi Musa AS ketika hendak berdakwah pada Raja Fir’aun, Al-Qur’an menceritakan kisah Nabi Musa AS itu agar kita meneladani beliau.
Sedangnkan memberi nasehat dengan kasar itu tidak boleh digunakan di semua tempat dan semua keadaan, seperti mengumpat dengan menyebut semisal kalimat “jancuk”, “asu”, “celeng”, “matamu picek” dan sebagainya. Tadi saya katakan bahwa keras itu bahkan bisa fatal, dan akan menjadi fatal sekali apabila dibarengi dengan kata-kata kasar, misalnya pada suatu malam ada pejabat zhalim yang mulai sadar dan hendak memperbaiki diri, dia berniat esok harinya akan mendiskusikan hal ini dengan para penasehat ahli dan orang-orang kepercayaannya, namun begitu bangun tidur ia mendapat kiriman link Youtube berisi ceramah yang mencaci maki dirinya, ia dibilang bodoh, goblok, anjing, babi, banci, pengecut dan sebagainya. Iapun menjadi jengkel dan lupa kalau tadi malam sudah sadar dan berniat untuk memperbaiki diri, berhari hari ia larut dalam kejengkelan, apalagi teman-temannya juga memanas-manasi, iapun tidak jadi memperbaiki diri. Demi Allah, pendakwah dalam yotube tadi bukannya membawa orang lebih dekat pada Allah, tapi malah membawa orang lebih dekat pada setan.
Jadi, dakwah dengan cara keras itu memang bisa menimbulkan perpecahan dan dengan cara kasar itu salah. Kalau itu yang dimaksud oleh Gus Fuad maka saya setuju. Bahkan orang yang dakwahnya cenderung seperti itu memang sebaiknya tidak usah berceramah, karena bukan memperbaiki tapi malah merusak atau menambah kerusakan lain. Berceramah itu beda dengan mengajar, semua orang alim bisa mengajar, tapi ceramah perlu bakat khusus dan pengalaman bersosialisasi, kalau sekiranya tidak ada bakat berceramah sebaiknya ambil bagian mengajar saja, duduk manis di pesantren.
Nah, terkait dakwah keras dan kasar ini ranahnya adalah diskusi, yang saya jelaskan tadi adalah pendapat saya, yang berbeda dengan saya silakan ajukan pendapat, saya juga senang sekali menyimak ilmu dari siapapun, termasuk dari orang yang tidak sefaham dengan saya.
YANG KEDUA mengenai kata Gus Fuad bahwa kebanyakan habaib dakwahnya keras. Dalam hal ini saya serahkan pada publik, justru ini yang mestinya didiskusikan dari awal, benarkah kebanyakan habaib dakwahnya keras atau kasar, berapa persen yang keras, berapa persen yang kasar? Yang setuju dengan Gus Fuad tinggal keluarkan saja argumentasi dan contoh-contoh ceramah yang dianggap keras dan kasar itu, yang tidak setuju tinggal keluarkan juga argumentasinya. Dan satu hal hendaknya diperhatikan, yaitu dengarkanlah pendapat publik, karena merekalah obyek dakwah itu. Ibarat berjualan, publik adalah konsumen yang perlu didengar pendapatnya, apagali keluhannya.
YANG KETIGA mengenai tuduhan bahwa Gus Fuad dianggap benci Ahlulbayt gara-gara memarahi habaib. Nah, dalam hal ini ummat memang perlu didewasakan, orang-orang sering berfikir bahwa kalau mengkritik seorang habib berarti benci semua habib, kalau mengkritik seorang Arab berarti benci semua yang berbau Arab, kalau mengkritik seorang cina berarti benci semua yang berbau cina. Ini terlalu kekanak-kanakan bagi sebuah bangsa yang memiliki banyak pesantren, sekolah dan kampus. Ayolah kita berlatih untuk membiasakan husnuzhon dan bersikap adil. Baiklah, misalnya si fulan itu salah, pastikan dulu seberapa salahnya, disengaja atau tidak, meminta maaf atau tidak, siap dihukum atau tidak? Jangan kita menghukum orang lebih dari kesalahannya, karena Allah SWT juga akan mempertanyakan orang yang menilai dan menghukum kesalahan itu!
Menurut saya Gus Fuad juga salah, karena statement di publik itu beliau sampaikan dengan nada marah. Saya sendiri ada kerasnya, tanyakan saja pada teman-teman dekat saya, saya termasuk orang yang memiliki karakter keras, saya juga sering bersikap keras karena tidak sabar untuk menahan diri, tapi sikap keras itu selalu saya ambil di tempat tertutup, saya kritik Kiyai-kiyai di forum khusus Kiyai, bukan di panggung apalagi media.
Sekali lagi, menurut saya Gus Fuad itu salah, karena statement di publik itu beliau sampaikan dengan nada marah. Namun Gus Fuad bisa saja membela diri, misalnya beliau berkata: “Saya marah karena hal ini saya anggap sangat serius, dampaknya adalah kekacauan ummat dan sangat merugikan Islam, kehawatiran itu membuat saya tidak bisa menahan amarah.” Kalau beliau bilang begitu, kita mau bilang apa? Nah, kembali lagi bahwa ini adalah sebuah bahan untuk diskusi, bukan jadi bahan saling mencaci.
YANG KEEPAT mengenai ucapan pendukung Gus Fuad bahwa beliau adalah keturunan Sunan Ampel.
Namun mohon maaf, saya nulis ini menggunakan laptop di rumah istri kedua 🤭🤭🤭, ini sudah terlambat waktunya pindah ke rumah istri pertama, tapi saya sudah pamit bahwa saya akan terlambat karena kalau nulis harus sampai selesai 🤭🤭🤭. Dan ketahuilah bahwa keterlambatan menit itu ada hitungannya, karena saya berusaha adil 🤭🤭🤭
Jadi.. BERSAMBUNG ..
Sumber tulisan : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10222928427230474&id=1571913885&mibextid=Nif5oz